Oleh : Umar S. Radic (Pengamat Sosial)
JIKA anda sering nonton film kartun tentu anda bisa menyimpulkan bahwa film kartun tidak mementingkan alur cerita.
Di film kartun para tokohnya tak pernah
mati, meskipun mereka terjatuh dari jurang, atau digilas kereta api.
Lihat saja film Tom and Jerry. Meski digilas kereta api, Tom dapat hidup
kembali dengan hanya meniup jempol tangannya.
Dengan menggunakan logika di atas saya
tertarik membicarakan sedikit tentang teroris yang bekerja di Inonesia.
Dan buat saya teroris yang beroperasi di Indonesia memang tak ubahnya
seperti teroris kartun karena selain kerjaan mereka yang menimbulkan
humor-humor bernuansa ironi, namun Dalang dan otak intelektual di
belakang para teroris tersebut pun mungkin adalah orang yang tergolong
punya kecerdasan yang rendah. Berikut uraiannya:
Secara pribadi saya mengutuk keras
tindakan teror dan para teroris, apapun alasannya. Tapi saya lebih
mengutuk lagi teroris yang bodoh serta si Dalangnya yang dungu. Saya
curiga jangan-jangan kecerdasan si Dalang tak beda jauh dengan
kecerdasannya Mr. Bean, atau Patrick si Bintang laut.
Kita tentu sepakat bahwa Indonesia
adalah negara yang plural baik dalam hal agama maupun budaya. Selain
itu, pada kenyataannya, soal saling hormat-menghormati agama dan budaya
lain sudah lama terbangun di Indonesia, akan tetapi para teroris kartun
ini malah membom candi Borobudur (tahun 80an), bom Bali dan belum lama
ini Vihara Ekayana yang masing-masing adalah tempat beribadah umat Budha
serta Hindu. Maka menjadi wajar jika banyak tokoh lintas agama yang
menuding dan mengutuk bahwa semua pemboman tersebut punya tendensi
merusak kerukunan antar umat beragama. Jutrung dari pemboman itu tentu
saja meresahkan kalangan agama minoritas dan mencemaskan agama
mayoritas, siapa tahu yang minoritas terpancing “untuk balas dendam”.
Lalu, meledaklah masjid Istiqlal serta masjid lain.
Buat saya semua pemboman itu sekedar
bisnis kecemasan alias bisnis rasa aman saja, tidak lebih, tidak kurang.
Jika mereka itu adalah teroris betulan, mengapa bukan Menara Imperium
yang diledakkan? Mengapa bukan Menara Mulia yang dihancurkan? Dan
mengapa bukan Jalan Tol bertingkat yang ada di Tomang-Grogol di saat
dipadati kendaraan yangdi-bom? Atau, jika memang itu adalah teroris
sungguhan, mengapa bukan kilang minyak di Cepu atau Balongan yang
dihancurkan? Dan yang paling menggelikan adalah ketika beberapa waktu
lalu foto Presiden SBY dijadikan sasaran untuk latihan menembak oleh
mereka yang kata Divisi Humas Polri adalah teroris. Melalui media cetak
dan televisi SBY bahkan sempat curhat dan menunjukkan foto dirinya yang
menjadi target latihan menembak oleh orang-orang bertopeng, berbadan
tegap-kekar dan bercelana blue jeans.
Dengan adanya pemboman selektif tersebut
tentu ada pihak yang bertendensi diuntungkan. Jika para teroris kartun
ini membom lagi tempat ibadah dan tempat lain, dan sejalan dengan itu
Densus 88 menangkap serta menembak mati lagi orang-orang yang menurut
informasi intelijen versi Densus adalah teroris (meski Densus
jelas-jelas sering salah tangkap dan main tembak seperti film Dirty
Harry) yang itu dilakukan (lalu diekspos secara masif dan intensif di
media cetak, elektronik dan internet), misalnya, hingga menjelang bulan
Pemilu April 2014 nanti maka, secara politik, tentu tendensi penguatan
itu akan mengarah ke Capres dari pihak Militer. Dengan kata lain, yang
diuntungkan oleh situasi tadi, disengaja atau tidak, disadari atau
tidak, situasi tersebut akan menggiring dan semakin memperkuat opini
publik bahwa hanya Capres dari militer-lah yang bisa memberikan rasa
aman terhadap rakyat.
Maka dari itu, sebaiknya kelompok antar
umat beragama dan lintas budaya perlu sering kumpul bareng membicarakan
agenda-agenda mendesak bangsa secara konkret (jangan hanya para tokohnya
saja yang kumpul-kumpul) seraya menyimpan dulu konsep etika yang
merupakan penafsiran bahwa kelompoknyalah yang paling benar dan masuk
surga. Selain itu, kelompok kerukunan antar umat beragama harus mulai
mengagendakan agar keuangan Densus 88 segera diaudit. Dan ini harus
diawali oleh umat Islam sebagai umat yang dari dulu adalah umat yang
dirancang oleh Tuhan sebagai umat pembawa rahmat, bukan laknat.